Laman

Selasa, 06 Maret 2012

Menghabiskan 5 miliar Pawa. 5 tak selesai









Pembangunan Jembatan Pawan V yang menghubungkan daerah Negeri Baru dan Jalan Lingkar Kota hingga saat ini belum selesai. Padahal dana yang telah digelontorkan tidak sedikit, sekitar Rp 75 miliar.


Wakil Ketua DPRD Ketapang Budi Mateus menilai ada masalah dalam perencanaan pembangunan jembatan yang dianggarkan sejak 2008 lalu. “Urgensinya tidak ada, karena bukan prioritas. Tapi kepentingannya pasti ada. Karena itu sudah telanjur dibangun mau tak mau harus diselesaikan. Sayanglah Rp75 miliar mengapung saja di atas sungai. Sama saja duit sebanyak itu diletakkan di atas sungai tanpa manfaat,” kata Budi Mateus kepada wartawan ditemui di ruang kerjanya, kemarin.

Dikatakannya, pada APBD 2012 hanya menganggarkan Rp6 miliar dari Rp18 miliar utang pengerjaan kepada pihak ketiga (kontraktor). Artinya utang pembangunan Jembatan Pawan V masih tersisa Rp12 miliar. Karena itu kata dia, pengerjaan jembatan tersebut tak bisa melangkah jauh. Belum lagi pembebasan lahan dan pembuatan jalannya.

“Makanya kita tidak bisa melangkah untuk membebaskan lahan, karena utang saja masih Rp18 miliar. Bagaimana mau melanjutkan proyek. Akan kacau membagi pembangunan ke pedalaman. Ke depan harus kita bayar lagi. Tanahnya harus dibebaskan dan membangun jalan. Anggaran membebaskan lahan berbeda dengan membangun jalan,” bebernya.

Budi mengatakan, tak punya target untuk menyelesaikan pembangunan jembatan tersebut lantaran utang masih menumpuk. Dijelaskannya, kalaupun utang itu selesai, berarti baru bisa menyelesaikan bangunan jembatan itu saja. Belum pada pembebasan lahan dan pembangunan jalan menuju jembatan tersebut.

“Kalaupun kita langsung menyelesaikan Rp12 miliar, baru bisa mengatasi yang di atas sungai itu saja. Tidak bisa bergerak ke mana-mana,” kata dia.

Tapi ia mengaku tak mengetahui persis luas tanah yang harus dibebaskan dan berapa panjang jalan yang akan dibangun. Yang jelas, kedua hal itu tetap akan menyedot keuangan daerah. “Mungkin sekitar satu atau dua kilo. Untuk membebaskan tanah juga membutuhkan biaya banyak. Kalau Rp60 ribu saja satu meter sudah berapa. Tapi bagaimana kalau Rp100 ribu per meter? Tanah-tanah di situ pasarannya Rp60-100 ribu per meter. Jadi pembebasan tanahnya saya rasa tidak kurang dari Rp5 miliar,” taksirnya.

SEJARAH SINGKAT KABUPATEN KETAPANG

Pada masa pemerintah Hindia Belanda, sejak tahun 1936 Kabupaten Ketapang adalah salah satu daerah Afdeling, yaitu merupakan bagian karesidenan Kalimantan Barat (Residentis Westerm Afdeling Van Borneo) dengan pusat pemerintahannya di Pontianak. Kabupaten Ketapang pada waktu itu dibagi menjadi tiga Onder Afdeling yang dipimpin oleh seorang Wedana, yaitu :

1. Onder Afdeling Sukadana di Sukadana terdiri dari 3 (tiga) Onder Distrik yaitu :
a. Onder Distrik Sukadana
b. Onder Distrik Simpang Hilir
c. Onder Distrik Simpang Hulu

2. Onder Afdeling Matan Hilir di Ketapang terdiri dari 2 (dua) Onder Distrik yaitu :
a. Onder Distrik Matan Hilir
b. Onder Distrik Kendawangan

3. Onder Afdeling Matan Hulu di Nanga Tayap terdiri dari 4 (empat) Onder Distrik yaitu :
a. Onder Distrik Sandai
b. Onder Distrik Nanga Tayap
c. Onder Distrik Tumbang Titi
d. Onder Distrik Marau

Afdeling Ketapang sendiri dibagi menjadi 3 (tiga) kerajaan yang dipimpin oleh seorang Panembahan, yaitu :

1. Kerajaan Matan :
- Onder Afdeling Matan Hilir
- Onder Afdeling Matan Hulu
2. Kerajaan Sukadana :
- Onder Afdeling Sukadana
3. Kerajaan Simpang :
- Onder Afdeling Simpang Hilir
- Onder Afdeling Simpang Hulu
Sampai dengan tahun 1942 kerajaan diatas masing-masing dipimpin oleh :
1. Gusti Muhammad Saunan di Kerajaan Matan
2. Tengku Betung di Kerajaan Sukadana
3. Gusti Mesir di Kerajaan Simpang.

Setelah masa pemerintahan Hindia Belanda berakhir dengan datangnya Jepang tahun 1942, Kabupaten Ketapang masih dalam status Afdeling. Perbedaannya terletak pada pimpinannya yang diambil alih langsung oleh Jepang.

Setelah masa kemerdekaan Republik Indonesia, dimana masih terjadi perebutan kekuasaan dengan pihak Pemerintah Belanda (NICA), bentuk pemerintahan di Ketapang masih tetap dipertahankan sebagaimana sebelumnya yaitu berstatus Afdeling yang disempurnakan dengan Staatsblad 1948 No. 58 dengan pengakuan adanya pemerintahan swapraja. Pada waktu itu Ketapang dibagi menjadi 3 (tiga) daerah swapraja, yaitu : Sukadana, Simpang dan Matan yang kemudian digabung menjadi sebuah federasi.

Pada masa pemerintahan Republik Indonesia, menurut Undang-undang No. 25 tahun 1956 maka Kabupaten Ketapang mendapat status sebagai bagian daerah otonom Propinsi Kalimantan Barat yang dipimpin oleh seorang Bupati sebagai Kepala Daerah.

Kabupaten Ketapang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1959 tentang Penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Kalimantan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1953 Nomor 9) sebagai Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1959 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1820).


Selanjutnya berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2007 tentang pembentukan Kabupaten Kayong Utara di Propinsi Kalimantan Barat, maka sejak tanggal 26 Juni 2007, 5 (lima) wilayah kecamatan di Kabupaten Ketapang dimekarkan menjadi satu kabupaten baru dengan nama Kabupaten Kayong Utara.


Nama-nama Kepala Daerah yang pernah menjabat di Kabupaten Ketapang sejak 1947 sampai sekarang, adalah :


1. R. Soedarto (1947 - 1952)
2. R.M. Soediono (1952 - 1954)
3. M. Hadariah (1955 - 1958)
4. Herkan Yamani (1959 - 1964)
5. Drs. Muehardi (1965 - 1966)
6. M. Tohir (1966 - 1970)
7. Denggol (Pj) (1970 - 1972)
8. Zainal Arifin (1973 - 1978)
9. Soehanadi (1978 - 1983)
10. Gusti Muh. Syafril (1983 - 1988)
11. Mas'ud Abdullah, SH (1988 - 1992)
12. Drs. H. Soenardi Basnu (1992 - 1998)
13. H. Prijono, BA (Plt) (1998 - 2001)
14. H. Morkes Effendi, S.Pd, MH (2001 - 2010)
15. Drs. Henrikus, M.Si (2010 - sekarang).

SEJARAH KOTA KETAPANG

Dalam Atlas Sejarah yang disusun oleh Muhammad Yamin (1965) untuk mengidentifikasi Nusantara Raya menurut Mpu Prapanca di dalam naskah Nagarakertagama, wilayah geografi kota Ketapang saat ini diberi nama Tandjungpura. Kemudian dalam peta pada masa kesultanan Riau-Johor (Harun : 2003), wilayah kota Ketapang dinamai Matan.
Perubahan nama wilayah geografis dari Tanjung Pura menjadi Matan dan kemudian Ketapang, tidak diketahui dengan pasti karena tidak ada catatan sejarah atau prasasti yang menunjukkan peristiwa itu. Namun perubahan nama tempat atau kota pada masa kerajaan diduga akibat perubahan letak kerajaan atau berubahnya raja yang berkuasa ditempat itu akibat suatu peristiwa tertentu (perang, bencana alam dan keputusan raja).
Kepastian sejarah mengenai berdirinya Kota Ketapang hingga saat ini masih samar. Namun dapat dikatakan bahwa Kota Ketapang merupakan salah satu kota tertua di wilayah Kalimantan Barat yang dibuktikan dengan keberadaan Kerajaan Tanjungpura - Matan di wilayah Kota Ketapang yang merupakan kerajaan tertua di Kalimantan Barat. Dugaan itu setidaknya didasarkan beberapa kronik Cina, Nagarakertagama, prasasti Waringin Pitu dan penelitian para ahli linguistik di kepulauan Indo-Malaya.
Dalam kronik Cina Chu Fan Chi yang dibuat oleh Chau Ju Kwa tahun 1225 M, Tanjungpura disebut dengan nama Tan-jung-wu-lo, dikatakan bahwa daerah ini sekitar tahun 1200 M merupakan jajahan raja Jawa. Periode sezaman dengan tarikh kronik ini, di Jawa berkuasa Raja Jenggala - Kediri terakhir yaitu Sri Jayawarsa/Kertajaya (1190 - 1205 M) serta merupakan periode pertama berdirinya kerajaan Singasari dengan rajanya yaitu Sri Ranggah Rajasa/Ken Arok (1222 - 1227 M). Maka apabila menggunakan tarikh dalam kronik Cina ini, Tanjungpura baik sebagai kerajaan maupun sebagai kota sudah berdiri pada sebelum tahun 1200 M. Namun letak wilayah geografisnya sulit ditentukan apakah dalam batasan "Kota Ketapang".
Chau Ju Kwa adalah seorang pedagang yang kemungkinan singgah di kota Tan Jung Wu Lo yang terletak di tepi pantai atau di dekat sungai. Sebagai pedagang antar negara, "perahu" yang dibawanya tentulah dengan tonase cukup besar, dan hanya bisa berlabuh dialur yang dalam dan luas. Diduga saat itu, lokasi kota Tan Jung Wu Lo berada dekat dengan pelabuhan, dan wilayah geografisnya saat ini mungkin terletak di "Ketapang Kecik", Kandang Kerbau (Sukabangun), atau sekitar kuala sungai pawan (Negeri Baru).
Dalam Nagarakertagama, Tanjungpura disebut sebagai daerah bawahan Majapahit. Naskah Nagarakertagama oleh Prapanca selesai ditulis pada tahun 1365 M, periode Raja Hayam Wuruk berkuasa (1350 - 1389 M). Selain menceritakan tentang kerajaan Majapahit, naskah tersebut juga menceritakan kerajaan Singasari (1222 - 1292 M). Salah satu alur sejarah yang dapat dicermati yaitu pada saat pelantikan Gajah Mada menjadi Mahapatih Amangkubumi (1334 M) oleh Sri Tribuana Tunggadewi (1328 - 1350 M) dia mengucapkan sumpah setianya (disebut Sumpah Palapa), dan Tanjungpura pada saat itu belum merupakan daerah bawahan Majapahit. Oleh karenanya salah satu isi sumpah Gajah Mada adalah akan menundukkan Tanjungpura (Atmodarminto : 2000).
Dalam Prasasti Waringin Pitu (1447 M), Tanjungpura (Tanjungnagara) sudah merupakan nama ibu kota negara bagian Majapahit untuk wilayah Pulau Kalimantan (Sehieke 1959). Pada masa itu, Majapahit dipimpin oleh raja Dyah Kertawijaya/Prabu Kertawijaya Brawijaya I (1447 - 1450 M). Letak geografis kota Tanjungpura tersebut sebagaimana yang identifikasi Pigeaud (1963), Djafar (1978), dan Muhammad Yamin (1965), adalah terletak didalam batasan wilayah "Kota Ketapang" yaitu sebelah selatan kota Ketapang (sekarang Negeri Baru).
Versi lain mengenai berdirinya kota Ketapang dapat ditinjau dari peristiwa sejarah yang sangat penting pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Zainuddin di Kerajaan Matan, yaitu peristiwa perampasan kekuasaan oleh saudaranya sendiri Pangeran Agung pada tahun 1710 M. Pangeran Agung yang gagal merebut tahta saudaranya, dipenjarakan (diasingkan) oleh Sultan Muhammad Zainuddin dengan membuatkannya suatu kota kecil lengkap dengan pelayannya (gundik) 40 orang. Dalam Sejarah Kalimantan Barat (Loutan 1973) daerah tersebut adalah Darul Salam. Orang Ketapang menyebut daerah tersebut Tembalok (tempat penjara raja) atau Sei Awan seberang Sukabangun. Dalam sejarah kerajaan Riau Johor dikatakan "dikurung dalam kota kecil sampai mati" (Ahmad 1985).
Hingga saat ini kesepakatan tentang hari jadi Kota Ketapang masih dalam proses kajian. Data diatas dapat dijadikan sebagai bahan rujukan dalam penentuan hari jadi Kota Ketapang secara legal formal (berdasarkan rujukan hasil Diskusi Panel Adat Budaya dan Kelestariannya di Musyawarah Besar II Ikatan Keluarga Kerajaan Matan dan Tanjungpura tanggal 7 s/d 8 Agustus 2004).

KECAMATAN DI KAB.KETAPANG

Daerah Kabupaten Ketapang mempunyai luas wilayah 35.809 km² (± 3.580.900 ha) yang terdiri dari 33.209 km² wilayah daratan dan 2.600 km² wilayah perairan (sebelum pemekaran Kabupaten Kayong Utara). Namun setelah pemekaran Kabupaten Kayong Utara, maka wilayah secara keseluruhan mencapai 31.588 km2 dengan luas daratan 30.099 km2 dan luas perairan 1.489 km2, serta memiliki 20 kecamatan, yaitu:
1. Benua Kayong
2. Delta Pawan
3. Muara Pawan
4. Singkup
5. Air Upas
6.Kendawangan
7. Marau
8. Manismata
9.Tumbang Titi
10. Jelai Hulu
11. Sungai Melayu Rayak
12. Pemahan
13. Nanga Tayap
14. Hulu Sungai
15. Sandai
15. sungai laur
16.Simpang Dua
17. Simpang Hulu
18. Matan Hilir Utara
19. Muara Pawan
20. Matan Hilir Selatan.

Peta Kabupaten ketapang




Wilayah Kabupaten Ketapang terdiri dari 20 Kecamatan, 9 Kelurahan dan 240 desa. Dimana 13 kecamatan berada di daerah perhuluan dan selebihnya merupakan kawasan pesisir, yaitu wilayah kecamatan yang sebagian besar wilayahnya berbatasan langsung dengan laut.

Secara geografis Kabupaten Ketapang berada di bagian selatan Provinsi Kalimantan Barat dan merupakan kabupaten terluas di Kalimantan Barat yang memiliki luas wilayah secara keseluruhan mencapai 31.588 km2 dengan luas daratan 30.099 km2 dan luas perairan 1.489 km2.
Wilayah Kabupaten Ketapang dengan ibukota di Ketapang, terdiri atas dua puluh kecamatan, lima kelurahan, dan dua ratus enam belas desa dengan batas-batas wilayah Kabupaten Ketapang adalah sebagai berikut:
1) Bagian utara berbatasan dengan Kabupaten Kubu Raya, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Sekadau dan Kabupaten Melawi;
2) Bagian selatan berbatasan dengan Laut Jawa;
3) Bagian barat berbatasan dengan Kabupaten Kayong Utara dan Laut Natuna;
4) Bagian timur berbatasan dengan Provinsi Kalimantan Tengah dan Kabupaten Melawi.

Arti lambang Ketapang













BENTUK :
Bentuk keseluruhan dari lambang daerah adalah bulat telur (oval) yang didalamnya teerdapat ornamen ciri khas yakni:
1. Sebuah bintang bersudut lima yang terletak diatas buluh betung dan diantara dua ujung tangakai padi.
2. Dua tangkai padi yang jumlahnya 45 butir terletak lingkaran oval.
3. Sebatang pohon kedondong yang terletak di tengah lambang dengan enam dahanya.
4. Tujuh ruas buluh betung yang berdiri tegak dimuka pohon kedondong.
5. Seperangkat empat jenis senjata berupa hapang, parang, beliung, sumpitan dan meriam yang terletak dibagian kiri dan kanan bawah.
6. Pita sutra yang bertuliskan Kabupaten Ketapang yang terletak dibagian bawah lambang dan menghubungkan dua tangkai padi.

WARNA :
Lambang daerah menggunakan warna dasar lhijau muda dan empat lainnya yairtu merah, putih, kuning emas dan hitam denga arti sebagai berikut:
1. Warna merah putih yang terdapat didalam lambang yang berbentuk bulat terlur, merah berarti keberanian dan kejayaa, sedang warna putih berarti kesucian dan keadilan serta pula melambangkan dwi warna yang menjadi kejayaan dan keagungan Bangsa dan Negara Republik Indonesia.
2. Warna hijau muda yang terdapat pada warna dasar dan pohon kedondong melambangkan kesuburan dan kemakmuran.
3. Warna kuning emas yang terdapat pada bintang, ruas buluh betung dan butir padi berarti keluruahan dan keaguangan.
4. Warna hitam yang terdapat pada meriam, sumpit, dan bagian belakang dari hapang, parang dan beliung serta dahan pohon kedondong, tulisan Kabupaten Ketapang,
garis lingkaran oval dan buku buluh betung berarti ketahanan dan ketenangan.

MAKNA LAMBANG :
Makna lambang tersebut adalah
1. Bintang bersudut lima, mencerminkan keluhuran budi masyarakat daerah yang senantiasa bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan Pancasila sebagai dasar negara dan pandang hidup rakyatnya.
2. Dua tangkai padi yang jumlahnya 45 butir padi mencerminkan bahwa daerah ini sebagai wilayah negara kesatuan Republik Indonesia memiliki kesatuan tanah yang mampu menyumbangkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya dalam upaya menghujutkan cita-cita proklamasi 17 Agustus 1945.
3. Pohon kedondong dengan enam dahan, mencerminkanlingkungan alam daerah sangat potensial hasil buminya dan denganperambahannya serta keramah tamahan rakyat yang mencangkup enam liran sungai besar yang bermuara kelaut yang merupakan sarana angkutan masyarakat selain perhubungan darat.
4. Buluh betung tujuh ruas, mencerminkan sejarah awal pertumbuhan pemerintah didaerah ini yang dimulai sejak berdirinya kerajaan-kerajaan antara lain kerajaan Tanjung Pura hingga terbentuknya Pemerintah Otonomi Kabupaten Ketapang.
5. Seperangkat empat jenis alat senjata tradisionalberupa hampang, parang,beliung, sumpitan dan meriam mencerminkan senjata yang ampuh untuk mempertahankan diri dan juga alat utama yang dipakai dalam usaha mencari penghidupan dengan tidak menggantungkan nasib dengan orang lain.
6. Pita sutra putih bertuliskan Kabupaten Ketapang, berarti seluruh ciri ornamen dan warna dasar yang ada pada lambang merupakan kristalisasi yang dihujudkan menjadi lambang daerah

translate

English French German Spain Italian Dutch Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate Widget by Google